Bukan sebuah Apple Ipad kreasi mendiang Steve Jobs. Bukan sebuah jam tangan merek Rolex yang harganya selangit. Bukan sebuah frame kacamata Nike berharga 1 jutaan. Bukan juga sebuah mobil Toyota Fortuner yang bodynya sangat besar itu. Tetapi sang penyandang predikat benda termewah bagi anak kosan adalah sebuah televisi. Ya, benar. Televesi. Mungkin beberapa orang
yang membaca tulisan ini akan merasa bingung.
Tetapi inilah kenyataannya. Dan mungkin juga, bagi mereka, televisi adalah
suatu benda yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa sama sekali. Hampir tidak
ada sesuatu hal luar biasa yang membuatnya dianggap sebagai benda paling mewah.
Keculai televisi yang sudah canggih. Macam Samsung Smart TV-nya. Lalu ada LG
Internet TV yang tebalnya cuma 9 mili. Tetapi yang dimaksud televisi di sini
adalah televisi yang memiliki fitur standar. Fitur ini berupa sebuah tabung CRT
yang dapat menampilkan gambar bergerak, lalu sebuah speaker yang dapat
mengeluarkan suara, dan terdapatnya antena kecil sebagai reciever sinyal
analog yang ditransmisikan oleh tower pemancar.
Sebenarnya harga bukanlah alasan dibalik ironi ini. Justru alasan-alasan yang kurang begitu diperhitungkan menjadi dalang dibalik semua ini. Dan
alasan-alasan ini sudah sering ditemui di kos-kosan di daerah saya, Pogung
Kidul, Yogyakarta. Namun dalam tulisan kali ini, saya cuma akan menampilkan dua
alasan yang menurut saya paling dominan diantara sederet alasan yang lain.
Yang pertama, bagi para mahasiswa, televisi merupakan benda yang tidak
begitu dibutuhkan dan tidak penting. Memang dalam kenyataannya televisi tidak
memiliki peran penting untuk menunjang kegiatan perkuliahan di luar kampus.
Alasan yang kedua adalah tidak ada waktu untuk menonton berbagai macam
program acara yang telah disediakan oleh stasiun-stasiun televisi. Dan menurut
saya, ini adalah alasan paling kuat jika dibandingkan dengan alasan pertama
tadi. Sebab, bagi mahasiswa Fakultas Teknik seperti saya, waktu luang adalah
‘benda’ paling langka untuk didapatkan. Banyaknya tugas dan seabrek laporan
praktikum beratus-ratus halaman adalah ‘biang keroknya’. Mungkin kalau misalnya
laporannya diketik tidak terlalu memberatkan . Tetapi yang jadi masalah adalah
semua laporan harus ditulis tangan. Selesai kuliah, lansung ambil kertas HVS A4
untuk mulai menulis laporan. Di malam hari, kegiatan kami juga sama. Monoton.
Menulis laporan. Menulis laporan. Dan menulis laporan. Mungkin untuk mahasiswa
dari fakultas lain, masalahnya akan sedikit berbeda.
Damak negatif yang di timbulkan oleh kedua hal diatas adalah rendahnya
informasi yang didapatkan oleh mahasiswa dari penjuru dunia yang tersajikan dalam setiap program
televisi. Khususnya program berita. Lalu dampak paling tidak ‘nyaman’ adalah
ketika mahasiswa harus menyaksikan pertandingan sepak bola, macam Liga Inggris,
di warung-warung Burjo terdekat.
Sungguh ironis.
0 komentar:
Posting Komentar